Rabu, 28 Maret 2012

Tince Sukarti

"Tin.. Tin.. Makan nak."

Suara yang terlontar tidak lagi keras. Malah terdengar seperti bicara pada diri sendiri. Bisa jadi lantaran lebih dari sepuluh kali wanita paruh baya itu merapatkan tubuhnya ke pintu kamar anaknya, namun panggilannya tak juga berujung jawaban. Sekali lagi permukaan pintu diketuk dengan jarinya yang sudah ditekuk. Masih sama. Tak ada suara dari dalam. Ragu-ragu kaki wanita berkebaya corak bunga itu melangkah, antara kembali ke meja makan atau merapatkan lagi ke pintu kamar. Menggelengkan kepala, wanita itu akhirnya menarik napas panjang seraya melangkah ke meja makan.

"Biarkan saja. Gak usah dipanggil!" ujar Mahmud setengah membentak sambil mengetuk piring dengan sendok makan dengan kasar. Rupanya dia terganggu istrinya mondar mandir ke kamar Tince Sukarti sementara nasi di piringnya belum berkurang satu sendok pun. "Makan dulu nasimu!"

"Kasihan, Pak. Dari semalam belum makan dia."

Mahmud bergeming. Hidungnya serupa mendengus. Dia lebih memilih ambil satu lagi ayam goreng ketimbang menatap wajah istrinya yang tampak cemas.

"Lihat badannya semalam, Pak, kurus benar!"

Kali ini Mahmud tersenyum sinis. "Itu penyakit yang dia cari sendiri."

"Tince Sukarti itu darah dagingmu. Aku tahu dia salah melangkah. Tapi dia itu terjebak, tidak sepatutnya kau bersikap seperti itu."

Sayup-sayup telinga Tince menangkap percakapan orang tuanya dari dalam kamar. Tubuhnya menghadap cermin dengan tatapan kosong. Lima jam lebih dia duduk di sana meratapi nasibnya. Entahlah, mendapati reaksi ayahnya sedingin itu, ada penyesalan berada kembali di rumah setelah hampir setahun meninggalkan rumah. Sudah dua hari sejak polisi mengantarkan Tince pulang, tatapan ayahnya datar-datar saja. Tidak kangen apalagi prihatin dengan kondisi anaknya yang terjebak dalam lingkaran setan prostitusi. Malah Tince yakin, dibalik wajah datar itu, ayahnya senang dan menertawakan nasibnya.

Tince Sukarti belum lupa peristiwa setahun lalu ketika kedua orang tuanya lelap tidur dia membawa tas penuh berisi pakaian. Di pematang sawah sudah menunggu Aris yang akan membawanya ke kota. Lelaki dengan perut buncit itu berjanji membawa Tince Sukarti ke bosnya yang berprofesi sebagai pencipta lagu. "Kamu kenal Nike Ardila kan? Ya, itu bos saya yang pertama kali mengajak ke dapur rekaman. Dan Akang yakin, Neng Karti bakal lebih terkenal. Kecantikan Nike Ardila gak ada setengahnya dari Neng. Sumpah!" begitu sesumbar Kang Aris begitu Tince Sukarti meragukan ajakannya.

Sudah disepakati seluruh warga desa Suka Maju bahwa Tince Sukarti itu bergelar kembang desa. Wajah gadis itu begitu  lembut dan ikal mayang dia punya rambut. Para jejaka tak akan lupa, kerling nakal Sukarti yang menggoda. Jangankan lelaki muda, yang tua jompo pun gila begitu wanita itu lewat depan mata. Tuhan mungkin terlalu baik, biasanya wanita yang diberkahi paras cantik memiliki suara agak kasar bahkan ada yang mirip suara lelaki. Rumus ini tidak berlaku buat Tince Sukarti. Berkali-kali dia menjadi juara menyanyi mewakili sekolahnya dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas.  Dan potensi tarik suaranya ini disadari benar oleh Tince Sukarti. Makanya dia kerap bermimpi menjadi penyanyi terkenal yang selalu masuk tivi. Setidaknya itulah yang dia impikan ketika asyik menyanyi di kamar mandi dan menari di depan cermin lemari.

"Kalau tidak jadi penyanyi, rugi atuh Neng wajah seayu ini." Ramdhani ketua RW pernah berkata serupa ini kala berpapasan di pinggir kali.

"Sukarti.. oh Sukarti... Akang rela gak makan dua hari asal sini bonceng motor sambil kamu bernyanyi." ini kalimat yang tidak pernah absen kala Tince Sukarti melewati pangkalan tukang ojek di bawah tegangan tinggi.

"Ikut Akang! Sumpah mati, berani gempor kaki Akang kalau Neng gagal jadi penyanyi."  Aris si calo artis meyakini berkali-kali..

Ajakan Aris itulah yang memberanikan Tince Sukarti menghadap Mahmud pada suatu sore. Dia begitu yakin ayahnya akan mengizinkan mengingat posisinya sebagai anak tunggal yang kerap dimanja. Setelah basa basi menanyakan hasil ladang yang digarap ayahnya, sambil mengurut kaki Mahmud, Tince mengutarakan niatnya.

"Apa?" Mahmud sampai menarik kakinya yang sedang diurut saking terkejut dengan ucapan Tince Sukarti. "Tidak!!"

Sang gadis pasang wajah cemberut dan mulai menarik-narik ujung bajunya.

"Kamu itu anakku satu-satunya. Jangan pergi ke kota. Kamu belum tahu betapa keras kehidupan di sana. Lagipula usiamu masih terlalu kecil untuk merantau."

Bibir tipis Tince mulai bergetar. Bola mata hitamnya tenggelam sebagian. Dadanya pun terangkat pelan tak kuasa menahan isak.

Biasanya Mahmud luluh melihat gadinya merengek. Kali ini lain. "Sekali tidak tetap tidak!!"

Secepat kilat Tince Sukarti lari sambil menangis menuju kamarnya. Dengan kekuatan penuh pintu kamar dibanting. Dia sangat tidak menyangka akan jawaban ayahnya mengingat segala permintaan biasanya selalu diluluskan. Tidak terbesit dalam benaknya bahwa  sang ayah punya pertimbangan matang dan realistis. Mahmud tidak mau ceroboh membiarkan anak perawannya mencari untung di kota di usia belum lulus SMA. Apalagi dia sadar gadisnya itu memiliki paras yang bakal meruntuhkan iman para lelaki hidung belang. Meski Tince Sukarti berjanji akan pulang dua minggu sekali tetap ditampiknya mentah-mentah.

Di kamarnya, hati Tince seperti meledak. Sanjungan dan pujian yang selama ini diarahkan padanya seakan menguap dalam hitungan detik. Tangannya tidak kuasa menahan kesal hinggu kaca lemari ditinjunya sampai retak. Sekali lagi bogamnya menghujam setelah siluet wajah ayahnya tampak di cermin lemari. Pecahan kaca merobek kulitnya seakan tak terasa.  Beberapa serpihan jatuh menghujani telapak kakinya.

Bisa jadi sakit di hatinya teramat perih hingga di kepala Tince muncul ide untuk kabur saja. Bermodal paras cantik dan suara merdu yakinlah dia mampu meraup uang dengan mudah, mirip apa yang selalu diwanti Aris beberapa hari belakangan. "Lihat saja nanti, kalau sukses, ayah pasti merengek minta kiriman uang tiap bulan." batin Tince sambil memilih mana pakaian yang akan di bawanya esok malam.

Dan seperti yang selalu menjadi langganan berita di tivi, Tince Sukarti dijual kepada mucikari. Kembang desa itu layu sebelum berkembang. Dia tidak bisa pulang lantaran mucikari membeli tubuhnya dengan harga yang tidak murah. "Lunasi dulu hutangmu, baru nanti kuizinkan pulang!" Tentu itu hanya janji kosong supaya Tince Sukarti mau mulai menanggalkan pakaian dan melayani tamu pria hidung belang. Hari-hari kelamnya berjalan hampir satu tahun sampai polisi mengungkap jaringan para penjual manusia beberapa hari lalu.

***

"Andai menaati laranganku, dia tidak begini sengsara." gerutu Mahmud setelah meneguk air putih. Istrinya  masih belum  menyantap makanannya. "Kau lihat pandangan tetangga saat anakmu pulang, heh, mereka jijik melihat keluarga kita.

"Sudahlah jangan tambah penderitaan dia. Tince dijebak. Seharusnya kita melindunginya sekarang."

"Aku malu punya anak pelacur!"

Mendengar kata-kata barusan keluar dari suaminya, bibir wanita itu bergetar. Ingin mengeluarkan kalimat bantahan tapi tenggorokannya serupa tersumpal kain. Matanya berkaca-kaca.

"Lebih baik dia tidak ditemukan daripada mendapat kenyataan senista ini."

Kalimat itu terucap keras dan tentu saja terdengar oleh Tince Sukarti yang sedang mengikat seprai  ke kusen pintu kamar mandinya.

Kembang desa layu, tak lagi wangi seperti dulu..

***

Jakarta 30/3/12

*Cerita ini ditulis berdasarkan lagu Tince Sukarti yang dipopulerkan Iwan Fals.














Senin, 16 Januari 2012

Ada Dia di Matamu

Fauzan
Ini sudah keterlaluan. Sedari tadi Fauzi tidak mau menoleh padahal beberapa kali aku berdehem. Biasanya tanpa ada kode pun dia segera memberi kunci jawaban via sms. Aku tinggal menyalinnya ke lembar jawaban. Kebiasaan ini sudah berlangsung lama hingga aku tidak perlu belajar saat ada ulangan, bahkan ujian. Itulah guna sahabat. Aku pun tidak pernah menolak ketika dia mengeluh bapaknya tidak memberi uang SPP. Kendati dia bilang pinjam gak pernah aku menagihnya. Biarlah. Bagiku dia sudah seperti saudara sendiri. Malah kemarin, aku transfer pulsa dua puluh lima ribu buat nomor hape-nya yang sering sekali masuk masa tenggang.

Sial, jam dingding di atas papan tulis sudah hampir menyentuh angka sepuluh. Berarti lima belas menit lagi bel istirahat melengking sekaligus mengakhiri waktu ulangan. Sebenarnya aku ingin sekali merobek kertas dan meremasnya jadi bola kecil lantas dilemparkan ke tubuh Fauzi, tapi rasanya tidak mungkin. Bu Naimah sedari tadi seperti tidak berkedip menyorot dari setiap gerakan mencurigakan. 

Sekali lagi aku mengeluarkan dehem. Lebih keras dari yang tadi. Mustahil Fauzi tidak mengenal suaraku.  Jarak kami tidak lebih dari tiga meter, dia duduk dua bangku di depanku sebelah kanan. Aneh, kepalanya masih tidak bergerak. Pasti ada yang tidak beres. Aku jadi ingat tadi  pagi waktu bertemu wajahnya dilipat begitu aku menegurnya.

Apa karena... Ah tidak mungkin.

Fauzi
Dia pikir aku bodoh. Dasar Fauzan memang licik. Dari dulu aku hafal wataknya yang selalu ingin menang sendiri. Harusnya itu jadi peringatanku dan tidak ceroboh begitu saja memberi izin kepadanya, ketika   Fawaizzah diminta untuk menemaninya ke toko buku. Aku tidak ikut waktu itu lantaran harus membantu bapak jualan di pasar malam. Nah, seingatku dari situ keduanya jadi semakin akrab. SMS-ku jadi sering tidak dibalas Fawaizzah. Lelucon-leluconku seolah tidak lucu lagi di telinga Fawaizzah dan tawa lebarnya semakin hilang. Entah apa yang dibisiki Fauzan, tapi aku yakin dia mengumbar kekayaan orangtuanya hingga menghapus namaku dari hati Fawaizzah. Sial kau Fauzan. Aku yakin ada dia di matamu. 

Tidak, aku tidak akan menoleh meski kau berdehem seribu kali. Rasakan sendiri dari kebodohanmu.

***

Lembar jawaban Fauzan masih kosong saat bel berbunyi. Fauzi menghampirinya. Tiba-tiba meninju meja dengan kepalan tangan. Tidak keras memang, tapi mata Fauzan bisa melihat urat yang mengakat pada lengan sahabatnya itu. Fauzan jadi yakin atas kecurigaanya. Dia lekas merogoh ponsel untuk menghapus pesan dari Fawaizzah semalam.

Sebelum jempolnya menekan konfirmasi hapus pesan, sekali lagi dia baca barisan kata itu,"maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?*"

***
Jakarta 17 Januari 2012




Minggu, 15 Januari 2012

Aku Mau Kamu, Titik

"A ka uku, aku. Em ama u, mau. Ka aka em umu, kamu. Titik."

"Eh titiknya gak usah dibaca. Ayo coba sekarang gak usah dieja."

"Aaaaa..ku maa..uuu kaaammm..uu.."

"Hebatt!"

Naim mengusap rambut adiknya dengan penuh kasih. Terbentuk senyum pada ujung mulutnya ketika kepala adiknya hampir menyentuh koran. Peluh yang menitik di dahi menandakan betapa semangat adiknya agar bisa membaca. Memang, setiap sore Naim melatih adiknya membaca dari potongan-potongan kertas yang ditemui di jalanan. Dia merasa beruntung sempat sekolah kendati hanya sampai kelas lima. Sementara adiknya terpaksa ikut mengamen dengannya karena bapaknya kabur entah ke mana sedangkan penghasilan ibunya sebagai pemulung tidak cukup buat mereka makan dan biaya kontakan.

Sebelum ashar seperti sekarang, biasanya mereka makan di warung nasi samping masjid belakang terminal. Setelahnya duduk di halte atau pinggir trotoar. Terlihat Aris masih semangat mengulang kata-kata tadi dengan nada keras. Telunjuknya terlalu kencang menekan kertas hingga ada beberapa bagian kertas yang hampir robek.

"Mau jadi apa kamu nanti, Ris?"

Aris mengangkat kepalanya. Bola hitam pada kedua mata bocah itu terangkat hampir menyentuh alis. Dahinya mengkerut serupa goresan pasir pantai yang dibentuk oleh hempasan air laut. Sepuluh detik dia begitu sebelum merekah sebuah senyum lebar hingga menyumbul empat gigi atasnya yang tanggal. Hanya menyisakan beberapa tonjolan hitam.

"Dapit Bekam!!"

"Pemain bola?"

Kepala Aris mengangguk sambil menggaruk pinggir koreng di betis kirinya. Lalat-lalat yang tadi nemplok, terbang menunggu sabar berputar di atasnya.

"Bisa, kak?"

"Tentu! Kamu tahu pemain bola hebat dari Afrika, Drogba yang main di Chelsea?
Aris mengangguk cepat.
"Masa kecilnya bisa jadi miskin. Kadang kelaparan kayak kita. Yang penting mah berlatih keras dan berdoa tiap hari. Semoga kamu bisa beruntung seperti dia ya.."

Bersamaan dengan senyum Aris yang membayangkan jadi pemain bola hebat, sebuah mobil pick-up berhenti di seberang jalan. Tiga orang berseragam memandang sinis ke dua bocah itu dengan membawa pentungan. Terlihat wajah mereka yang  ingin sekali menyeberang namun  masih tertahan oleh mobil-mobil yang melaju kencang.

Naim mengambil kecrekan miliknya yang terbuat dari tutup botol yang dipaku pada sepotong kayu. Menarik begitu saja tangan adiknya hingga mereka berdiri dengan cepat.

"Kau tahu jadi pemain bola harus cepat larinya, Ris?"

"Iya!"

"Ayo kita lari!!!!"
***
Jakarta 16 Januari 2012

Jumat, 13 Januari 2012

Kamu Manis, Kataku

Di hadapan cermin Nisa cemberut. Bahunya terangkat lantaran dia menarik napas agak dalam, lantas dihempaskan begitu saja hingga daging yang menempel di perutnya terguncang. Posisi badan dimiringkan. Perlahan kepalanya menggeleng dengan ujung bibir terangkat. Kendati dia tahu akan sia-sia, kedua telapak tangan dicobanya menekan perut yang sudah terlalu maju itu. Tersenyum sebentar. Lalu cemberut lagi begitu telapak tangan lepas dari lipatan perutnya.

"Buuu... Andi gak mau makan sama saya, maunya sama ibu."

Tidak dihiraukan suara dari balik pintu kamarnya. Itu ucapan Siti, pembantunya yang hampir dua bulan mengasuh anaknya. Nisa kembali mendekati wajahnya ke cermin. Benar belum ada kerutan di setiap senti dari wajahnya. Namun kedua pipinya serupa mengulum sepasang kelereng meski tidak ada benda apapun di mulutnya. 

"Buuu.. Remote tivi dimasukan ke akuarium. Piring nasinya juga."

Nisa hanya menggeleng. Dia sudah terbiasa dengan kelakuan anaknya yang super aktif. Di usia menjelang empat tahun seingatnya sudah lima belas kali ganti pengasuh. Habis mau bagaimana lagi? Andi tipe anak yang tidak bisa diam. Sepertinya dia senang dengan kerepotan dan kekesalan orang yang mengasuhnya. Bahkan ada pembantu yang hanya sanggup sehari menemani Andi lantaran kesal kepalanya diketuk dengan remote tv. Untunglah psikolog yang dikonsultasikan Nisa tidak mengatakan ada kelainan dalam diri anaknya. Hanya butuh kesabaran dan sebaiknya diarahkan pada kegiatan positif yang bisa merangsang kreatifitasnya.

"Buu.. Buuu? Dingding yang kemarin dicat dicoret-coret pakai spidol tuh."

Nisa bergeming. Seharusnya cape mengurus anak membuatku tidak begini, dia membatin begitu jemarinya meremas pergelangan tangan yang sudah tidak bisa lagi digenggam. Padahal segala macam diet sudah dijalani. Segala model senam sudah dipraktekkan. Alat-alat yang dijual di tv dengan model-model meyakinkan sudah dibeli.  

Sebenarnya kekhawatiran atas tubuhnya tidak sehebat ini sampai pada kemarin dia mendapati tangan suaminya membelai dagu Siti di kamar belakang.

"Buuu... Pot bunga dibanting. Andi sekarang naik ke atas kulkas. Gak mau turun."

Kali ini Nisa bergegas keluar. Segera menurunkan Andi dari atas lemari es. Menggendongnya dan menaruhnya di atas sofa. DVD Sponge Bob kesayangan anaknya langsung diputar. Andi pun senang dan duduk tenang meski untuk sementara.
"Sini!" Tangan Siti ditarik Nisa menuju dapur.

Wajah Siti ketakutan tapi tidak berani menolak tuntunan. Dia melihat wajah majikannya begitu merah. Telinganya mampu mendengar dengus napas yang dihempaskan.
"Ayo jujur, apa yang dikatakan Bapak kepadamu kemarin?"

Siti menggigit bibirnya sendiri karena mencium bencana. Dia tahu setelah kejadian itu semalaman majikannya bertengkar. Nisa kalap karena suaminya tidak mau mengakui perbuatannya. Suaminya berkilah tidak mengatakan apa-apa kepada Siti.

Melihat pembantunya tidak berani mengeluarkan suara, Nisa mengancam. "Oke, kalau kau tidak mau mengaku, kemasi barangmu sekarang juga!"

Hampir menangis Siti saat bibirnya bergetar mengatakan, "Sa.. Saya gak diapa-apain Bapak.. Beneran!"

"Terus?"

"Bapak cuma bilang 'Siti, kamu manis deh' sambil mengusap pipi saya."

***





Kamis, 12 Januari 2012

Dag Dig Dug

Sandal jepit Aris telah putus begitu tubuhnya masuk ke sebuah gang gelap. Baru saja dia berlari dan kecepatan larinya mungkin hanya bisa ditandingi atlet lari profesional. Beruntung, sebelum masuk gang, kepalanya sempat menoleh ke belakang dan orang-orang yang mengejarnya tidak ada yang melihat. Kini, pada sebuah drum besar bekas minyak tanah tubuhnya bersembunyi.

"Mudah-mudahan mereka terkecoh," bisik Aris pada dirinya sendiri ketika masuk ke drum dan menutupnya. Lantas dia jongkok dan menaruh plastik kresek hasil curian di atas paha. Gelap dan sesak. Kalau saja tidak ada tiga lubang kecil di bawah drum pasti dia kehabisan napas. Dalam ruangan yang sempit itu terdengar jelas setiap ketukan dari jantungnya.

Sekuat tenaga Aris mengatur irama napasnya yang berantakan. Berhasil memang. Tapi peluh makin bercucuran lantaran oksigen di dalam drum pastilah kurang. Menggunakan telapak tangan, dia menyeka butiran peluh yang mulai jatuh dari alisnya yang basah.

Sayup-sayup terdengar derap kaki menghantam tanah. Makin lama makin terdengar keras menuju arahnya. Telinganya menempel di dingging drum. Dari nada hentakan, Aris menaksir jumlah kaki itu tidak kurang dari lima belas pasang. Tubuhnya tiba-tiba meriut dengan hati dag dig dug.

"Malingggg... Malingggg..."

Entah bacaan apa yang diucapkan dengan mulutnya yang komat-kamit.

"Bangsat....!"

Entah bacaan apa lagi yang diucapkan dengan mulutnya yang semakin komat-kamit.

"Bakarrr...!

Entah apa yang dipikirkan Aris karena orang-orang itu berhenti di samping drum tempat dia sembunyi.

***

Dalam sebuah gubuk terdengar tawa bocah yang bercanda dengan ayahnya. Hujan lebat tidak membuat mereka kedinginan karena Aris memeluk erat anaknya. Sesekali jemari Aris menggilik-gilik perut anaknya yang disusul tawa dan teriakan ampun. Mereka seolah tidak peduli dengan alas tikar yang sudah bolong dan basah karena air menitik dari asbes yang telah lapuk.

"Sudah becandanya, ayo makan!"

Istri Aris seketika berdiri dekat mereka dan segera menuntun  Roni ke sisi ruangan yang tidak bocor. Bakul nasi ukuran kecil  mengepul asapnya berdiri di sisi kantong kresek. Tiga buah piring plastik warna merah masih basah saat wanita itu menuangkan nasi.

"Asiikkkkk..."

Sampai terjulur lidah Roni tidak sabar menyambar bagiannya. Tangannya sudah menjulur padahal belum selesai ibunya menungkan nasi. 

"Cepet dong, Bu."

"Iya sabar."

Aris tersenyum tapi ada genangan di ujung matanya.

"Begini dong Pak makan sekali-kali pake ayam ka ef ce."

"Sudah cepat makan pahanya."

Kedua orang tua itu menukar pandangan. Tidak segera makan bagian mereka melainkan menyaksikan Roni dengan lahap menelan ayam dari setiap gigitan.

"Pokoknya minggu besok makan ini lagi. Kalau enggak, Roni ngambek lagi gak mau makan sampai dua hari kaya kemarin."

Aris tidak menjawab.
***








Rabu, 11 Januari 2012

Halo, Siapa Namamu?

"Halo, siapa namamu?"

Akhirnya berani saya ucapkan pertanyaan itu kepada wanita yang saya amati sedari tadi. Kami sama-sama dalam busway dan sama-sama berdiri. Sebenarnya jarak saya dan dia tidak berdekatan pada awalnya. Dia di depan hanya semeter dari jok supir dan saya sempat tertahan empat langkah dari pintu masuk. 

Tubuhnya lumayan tinggi hingga saya dapat melihat wajah putihnya dari balik kepala-kepala yang sesekali menghalagi. Hidungnya tidak terlalu bangir tapi tampak serasi dengan pipiya yang agak tembam. Jilbabnya model persegi panjang, bukan seperti jilbab model sekarang yang langsung jadi. Ujung jilbabnya disampirkan ke bahu dan menutupi sebagian kemeja kremnya, dia jadi terlihat seperti wanita di lingkungan pesantren yang biasa berjalan dengan membekap kitab suci di dada. Nah, bibirnya itu yang sempat membuat napas saya tertahan beberapa detik; tipis dan merah serupa bawang yang menempel di atas cobek.

Itulah alasan sampai saya dengan susah payah membelah sesaknya penumpang busway meski beberapa kali terdengar umpatan kasar pun mendapati muka-muka kesal lantaran terdorong tubuh saya.

Wanita cantik itu bergeming. Ah, kemacetan jalan Jakarta memang sialan. Lampu merah yang mati dan lengkingan klakson pasti membuat suara saya tidak terdengar. Apalagi motor dan mobil pribadi ikut masuk ke jalur busway membuat bis ini tak bisa bergerak.

Untuk mencolek pundaknya tentu saya tidak berani. Tindakan yang tidak terpuji dan bisa saja nanti tanggapan dia malah tidak bersahabat. Masalahnya saya sedang mencari pengganti Nisa, mantan pacar saya yang dengan kurang ajar meninggalkan saya dan pacaran dengan Aris, teman dekat saya.

Tubuh saya berusaha lebih mendekat. Sempurna! Tercium parfum yang membuat bahu saya terangkat menikmati aroma tubuhnya. Saya sempat mengingat mimpi apa semalam sampai-sampai Tuhan memberi kenikmatan serupa ini. Ah lagi-lagi bibir itu seperti mengingatkan saya pada seseorang yang meski keras otak saya mengingatnya tapi tetap gagal terungkap.


"Halo, siapa namamu?"


Saya tahu kalimat tanya itu terlalu garing untuk mukadimah perkenalan. Tapi siapa sih yang tidak gugup berhadapan dengan orang yang telah membuat dada berdegup dan aliran darah jadi enggak normal. Kata itu saya pilih begitu saja dari pada kehilangan momen.


Akhirnya kepalanya menoleh. Perlahan dan seperti takut-takut. Saya segera pasang senyum andalan.


"Dhaniiii..." teriaknya dan membuat beberapa orang melihat kami. Kemudian perut saya terasa sakit karena wanita itu mencubit dengan gemasnya. Sementara mulut saya menganga, otak saya mengingat-ingat siapa wanita yang perlahan mengingatkan saya pada seseorang.


"Kirain aku siapa kamu, Dhan, tiba-tiba langsung tanya nama. Emang gak kenal aku?"

Aku masih terpaku


"Ooo iya pasti jilbab ini ya? Hehe aku lagi tes masuk bank syariah di Thamrin. Jadi harus pakai jilbab. Kamu mau ke mana?"

Setelah melihat ada dua tahi lalat kecil di bawah mata sebelah kiri, yakinlah saya wanita itu Fera, anak paman saya yang dua minggu lalu ke Jakarta setelah lulus kuliah di perguruan tinggi Malang.



***

Jumat, 11 November 2011

Kepala Nurdin

Sudah hampir setengah jam Nurdin berdiri di depan cermin. Dia mengamati bentuk kepalanya yang bila dilihat dari fisik, tidak ada keanehan; agak lonjong dengan rambut gaya tentara. Memang seperti itu bentuknya. Kemudian dia remas-remas sendiri rambutnya seolah apa yang baru saja dialami adalah mimpi. Ingin dia benturkan kepalanya ke cermin dengan keras, tapi dia masih waras berpikir seandainya cermin pecah, tidak ada uang lagi untuk membeli yang baru.

Nurdin heran mengapa kepalanya sekarang jadi seperti batu. Tadi siang saat dia mau ke pasar melewati kebun Pak Bakri yang banyak tumbuh pohon durian, kepalanya kejatuhan durian masak, tepat di ubun-ubun. Tapi yang terjadi durian itu terbelah empat, kulit dan biji-biji durian berhamburan ke tanah. Sedangkan kepalanya tidak merasakan sakit sedikitpun. Padahal Pohon durian itu sangat tinggi, tinggi sekali, dan sesuai hukum gravitasi seharusnya kepala Nurdin tertancap duri buah.

Tidak sampai disitu. Pulang dari pasar saat melewati samping masjid, dia melihat ada dua anak kecil yang bertengkar. Entah permasalahannya apa, anak kecil yang berkepala botak dikejar-kejar oleh yang tidak memakai baju. Muka si botak ketakutan karena yang mengejarnya itu memegang belahan batu bata. Nurdin menghentikan langkah dan minggir sedikit, bersandar pagar masjid karena kedua anak itu berlari menuju arahnya. Tanpa terlihat olehnya anak kecil yang memegang batu melempar anak kecil botak yang lari ketakutan. Sayang lemparan itu terlalu kencang dan mendarat tepat di jidat Nurdin. Dan sekali lagi, batu pecah sedangkan Nurdin tidak merasakan sakit sedikitpun.

"Apakah aku sekarang mempunyai kepala sekeras batu?" Nurdin bicara sendiri sambil tetap melihat cermin.
Ah mungkin itu kejadian kebetulan saja, tapi kok bisa dua kali. Ah mungkin Tuhan telah menaruh kekuatan lebih di kepala, tapi tidak berdoa agar seperti ini. Begitu yang ada di pikirannya. Setelah pandangannya beralih ke tembok, satu ide hinggap di kepalanya. Aku benturkan saja ke tembok, ini akan menjawab keraguan, begitu pikirnya.

Tembok rumah Nurdin adalah bangunan lama, meski dibuat dengan campuran semen yang cukup, tapi usia telah menciptakan garis retakan di beberapa sudut. Nurdin melangkah dan mendekati tembok. Dia tampak ragu takut jidatnya berdarah, tapi bila tidak dilakukan akan memupuk penasaran. Dengan gerakan cepat tercipta suara benturan.

"Dugg..!"

Tembok yang dibenturkan membentuk kubangan kecil hingga terlihat merah batu bata. Alis dan matanya terselip pasir-pasir. Perlahan dia usap jidatnya yang untuk ketiga kalinya kebal terhadap benturan keras. Kini Nurdin yakin ada kekuatan istimewa yang bersemayam di kepalanya. Cepat dia kembali lagi ke depan cermin, kali ini memasang senyum lebar.

***

"Sombong sekali dia, mentang-mentang kepalanya sekuat batu, apa saja diadu."

"Buah manggaku habis jatuh semua, masa petik mangga membenturkan kepala ke batang pohon. Angkuh!"

"Kemarin di sawah aku lihat dia adu kepalanya dengan kerbau, kerbauku terkapar."

"Semenjak kepalanya seperti batu, dia jarang ke masjid."

Begitulah bisik-bisik orang kampung tentang sifat Nurdin yang berubah drastis setelah kepalanya kebal dari setiap benturan sekeras apapun. Mereka yang dirugikan dengan ulah Nurdin tidak berani menegur, apalagi melawan. Hal itu disebabkan karena takut bila Nurdin marah kepalanya akan memakan korban. Orang-orang kini menyebutnya Nurdin si angkuh. Saking angkuhnya, kalau berjalan, dadanya busung, kepala tengadah sambil bersiul. Sapaan dari orang  hampir tidak pernah diladeni. Andai ditanggapi paling hanya sedikit anggukan tanpa menoleh.

Tapi yang paling sakit hati dengan kelakuan Nurdin tidak lain adalah ibunya. Janda paruh baya itu jadi sasaran gunjingan tetangga. Setiap dia keluar rumah, sudut-sudut mata memicing ke arahnya. Muka-muka tak bersahabat itu bisa dia rasakan dengusannya, seolah memaki  ketidakbecusan mengurus anak semata wayangnya. Dari setiap sudut kampung yang dia telusuri, meski samar dia bisa mendengar potongan umpatan-umpatan yang membentuk suatu kesimpulan.

"Ssst.. Ada ibu kepala batu, pasti telinganya juga dari batu."

"Dikasih makan apa ya? kok bisa anaknya berkepala batu."

"Untung aku tidak dilahirkan dari rahimnya."

"Sombong, seperti anaknya. Dasar batu!"

***
Sudah berulang ibunya menasehati. Sepuluh kali pun lebih. Tapi dia tidak pernah bosan. Bukan karena jengah dengan umpatan tetangga, tapi dia tidak mau anaknya terjerumus ke dalam lubang kesombongan lebih dalam.

"Jadi orang jangan begitu, Nurdin." pesan ibunya pada suatu pagi.

Nurdin tidak menjawab. Dia hanya cengengesan mengambil air putih dan duduk di depan televisi.

"Turunlah dari kesombonganmu. Tahukah orang-orang sekarang mengutukmu?"

Nurdin mengangguk.

"Lantas apa yang kau tunggu?"

Untuk kesekian kali Nurdin meninggalkan ibunya saat dinasehati. Tanpa dia tahu, untuk kesekian kali pula, ibunya menagisi kelakuan anaknya yang masih betah dengan kesombongan. Nurdin keluar rumah dan seperti biasa memamerkan kehebatannya.

Setelah bulan berganti bulan, rasa takut yang menyelimuti warga berubah kesadaran untuk melawan. Mereka sepakat kumpul di balai desa. Hampir semua warga ikut aksi ini. Mereka sudah muak menyaksikan tingkah Nurdin yang sombong dengan kepala batunya. Setelah dirasakan cukup banyak massa yang terkumpul, mereka berbondong menuju rumah Nurdin. Bagaimanapun, aksi ini bukan untuk menghakimi Nurdin dengan kekerasan, melainkan hanya gerakan penyadaran bahwa warga sudah bosan dengan kesombongan.

"Kepala ini milikku, jadi terserah aku memakainya untuk apa." bentak Nurdin setelah perwakilan kerumunan menyampaikan maksud kedatangan. Depan rumahnya penuh warga seperti antrian minyak tanah.
Warga mulai kesal. Beberapa orang mulai tidak tahan dan mulai mengeluarkan kata-kata kasar binatang dan selangkangan. Tapi Nurdin menanggapinya tenang. Dia malah suka pemandangan seperti ini. Ini adalah panggung gratis untuk menunjukan betapa hebat kepalanya. Nurdin tersenyum dan kemudian menarik lebih tinggi lengan bajunya.

"Yang tidak senang dengan kelakuanku, silahkan maju ke sini." sambil meneriakkan kalimat itu dia mengambil martil yang ada di dekat pot rumahnya. "Akan aku adu kepalanya dengan kepalaku ini."

Orang-orang sudah bosan dengan kesombongan ini. Pasti Nurdin mau memamerkan kepalanya yang kebal. Menakuti orang-orang. Dengan tangan kanan, Nurdin mengayunkan martil sangat kuat tepat ke arah tempurung kepalanya. Beberapa detik kemudian ada percikan darah yang keluar dari kepala Nurdin. Dan seperti pohon pisang yang ditebas golok, badan Nurdin roboh mencium tanah.

***

Jakarta, 4 maret 2011