Jumat, 11 November 2011

Kepala Nurdin

Sudah hampir setengah jam Nurdin berdiri di depan cermin. Dia mengamati bentuk kepalanya yang bila dilihat dari fisik, tidak ada keanehan; agak lonjong dengan rambut gaya tentara. Memang seperti itu bentuknya. Kemudian dia remas-remas sendiri rambutnya seolah apa yang baru saja dialami adalah mimpi. Ingin dia benturkan kepalanya ke cermin dengan keras, tapi dia masih waras berpikir seandainya cermin pecah, tidak ada uang lagi untuk membeli yang baru.

Nurdin heran mengapa kepalanya sekarang jadi seperti batu. Tadi siang saat dia mau ke pasar melewati kebun Pak Bakri yang banyak tumbuh pohon durian, kepalanya kejatuhan durian masak, tepat di ubun-ubun. Tapi yang terjadi durian itu terbelah empat, kulit dan biji-biji durian berhamburan ke tanah. Sedangkan kepalanya tidak merasakan sakit sedikitpun. Padahal Pohon durian itu sangat tinggi, tinggi sekali, dan sesuai hukum gravitasi seharusnya kepala Nurdin tertancap duri buah.

Tidak sampai disitu. Pulang dari pasar saat melewati samping masjid, dia melihat ada dua anak kecil yang bertengkar. Entah permasalahannya apa, anak kecil yang berkepala botak dikejar-kejar oleh yang tidak memakai baju. Muka si botak ketakutan karena yang mengejarnya itu memegang belahan batu bata. Nurdin menghentikan langkah dan minggir sedikit, bersandar pagar masjid karena kedua anak itu berlari menuju arahnya. Tanpa terlihat olehnya anak kecil yang memegang batu melempar anak kecil botak yang lari ketakutan. Sayang lemparan itu terlalu kencang dan mendarat tepat di jidat Nurdin. Dan sekali lagi, batu pecah sedangkan Nurdin tidak merasakan sakit sedikitpun.

"Apakah aku sekarang mempunyai kepala sekeras batu?" Nurdin bicara sendiri sambil tetap melihat cermin.
Ah mungkin itu kejadian kebetulan saja, tapi kok bisa dua kali. Ah mungkin Tuhan telah menaruh kekuatan lebih di kepala, tapi tidak berdoa agar seperti ini. Begitu yang ada di pikirannya. Setelah pandangannya beralih ke tembok, satu ide hinggap di kepalanya. Aku benturkan saja ke tembok, ini akan menjawab keraguan, begitu pikirnya.

Tembok rumah Nurdin adalah bangunan lama, meski dibuat dengan campuran semen yang cukup, tapi usia telah menciptakan garis retakan di beberapa sudut. Nurdin melangkah dan mendekati tembok. Dia tampak ragu takut jidatnya berdarah, tapi bila tidak dilakukan akan memupuk penasaran. Dengan gerakan cepat tercipta suara benturan.

"Dugg..!"

Tembok yang dibenturkan membentuk kubangan kecil hingga terlihat merah batu bata. Alis dan matanya terselip pasir-pasir. Perlahan dia usap jidatnya yang untuk ketiga kalinya kebal terhadap benturan keras. Kini Nurdin yakin ada kekuatan istimewa yang bersemayam di kepalanya. Cepat dia kembali lagi ke depan cermin, kali ini memasang senyum lebar.

***

"Sombong sekali dia, mentang-mentang kepalanya sekuat batu, apa saja diadu."

"Buah manggaku habis jatuh semua, masa petik mangga membenturkan kepala ke batang pohon. Angkuh!"

"Kemarin di sawah aku lihat dia adu kepalanya dengan kerbau, kerbauku terkapar."

"Semenjak kepalanya seperti batu, dia jarang ke masjid."

Begitulah bisik-bisik orang kampung tentang sifat Nurdin yang berubah drastis setelah kepalanya kebal dari setiap benturan sekeras apapun. Mereka yang dirugikan dengan ulah Nurdin tidak berani menegur, apalagi melawan. Hal itu disebabkan karena takut bila Nurdin marah kepalanya akan memakan korban. Orang-orang kini menyebutnya Nurdin si angkuh. Saking angkuhnya, kalau berjalan, dadanya busung, kepala tengadah sambil bersiul. Sapaan dari orang  hampir tidak pernah diladeni. Andai ditanggapi paling hanya sedikit anggukan tanpa menoleh.

Tapi yang paling sakit hati dengan kelakuan Nurdin tidak lain adalah ibunya. Janda paruh baya itu jadi sasaran gunjingan tetangga. Setiap dia keluar rumah, sudut-sudut mata memicing ke arahnya. Muka-muka tak bersahabat itu bisa dia rasakan dengusannya, seolah memaki  ketidakbecusan mengurus anak semata wayangnya. Dari setiap sudut kampung yang dia telusuri, meski samar dia bisa mendengar potongan umpatan-umpatan yang membentuk suatu kesimpulan.

"Ssst.. Ada ibu kepala batu, pasti telinganya juga dari batu."

"Dikasih makan apa ya? kok bisa anaknya berkepala batu."

"Untung aku tidak dilahirkan dari rahimnya."

"Sombong, seperti anaknya. Dasar batu!"

***
Sudah berulang ibunya menasehati. Sepuluh kali pun lebih. Tapi dia tidak pernah bosan. Bukan karena jengah dengan umpatan tetangga, tapi dia tidak mau anaknya terjerumus ke dalam lubang kesombongan lebih dalam.

"Jadi orang jangan begitu, Nurdin." pesan ibunya pada suatu pagi.

Nurdin tidak menjawab. Dia hanya cengengesan mengambil air putih dan duduk di depan televisi.

"Turunlah dari kesombonganmu. Tahukah orang-orang sekarang mengutukmu?"

Nurdin mengangguk.

"Lantas apa yang kau tunggu?"

Untuk kesekian kali Nurdin meninggalkan ibunya saat dinasehati. Tanpa dia tahu, untuk kesekian kali pula, ibunya menagisi kelakuan anaknya yang masih betah dengan kesombongan. Nurdin keluar rumah dan seperti biasa memamerkan kehebatannya.

Setelah bulan berganti bulan, rasa takut yang menyelimuti warga berubah kesadaran untuk melawan. Mereka sepakat kumpul di balai desa. Hampir semua warga ikut aksi ini. Mereka sudah muak menyaksikan tingkah Nurdin yang sombong dengan kepala batunya. Setelah dirasakan cukup banyak massa yang terkumpul, mereka berbondong menuju rumah Nurdin. Bagaimanapun, aksi ini bukan untuk menghakimi Nurdin dengan kekerasan, melainkan hanya gerakan penyadaran bahwa warga sudah bosan dengan kesombongan.

"Kepala ini milikku, jadi terserah aku memakainya untuk apa." bentak Nurdin setelah perwakilan kerumunan menyampaikan maksud kedatangan. Depan rumahnya penuh warga seperti antrian minyak tanah.
Warga mulai kesal. Beberapa orang mulai tidak tahan dan mulai mengeluarkan kata-kata kasar binatang dan selangkangan. Tapi Nurdin menanggapinya tenang. Dia malah suka pemandangan seperti ini. Ini adalah panggung gratis untuk menunjukan betapa hebat kepalanya. Nurdin tersenyum dan kemudian menarik lebih tinggi lengan bajunya.

"Yang tidak senang dengan kelakuanku, silahkan maju ke sini." sambil meneriakkan kalimat itu dia mengambil martil yang ada di dekat pot rumahnya. "Akan aku adu kepalanya dengan kepalaku ini."

Orang-orang sudah bosan dengan kesombongan ini. Pasti Nurdin mau memamerkan kepalanya yang kebal. Menakuti orang-orang. Dengan tangan kanan, Nurdin mengayunkan martil sangat kuat tepat ke arah tempurung kepalanya. Beberapa detik kemudian ada percikan darah yang keluar dari kepala Nurdin. Dan seperti pohon pisang yang ditebas golok, badan Nurdin roboh mencium tanah.

***

Jakarta, 4 maret 2011

2 komentar: