"Halo, siapa namamu?"
Akhirnya
berani saya ucapkan pertanyaan itu kepada wanita yang saya amati sedari
tadi. Kami sama-sama dalam busway dan sama-sama berdiri. Sebenarnya
jarak saya dan dia tidak berdekatan pada awalnya. Dia di depan hanya
semeter dari jok supir dan saya sempat tertahan empat langkah dari pintu
masuk.
Tubuhnya
lumayan tinggi hingga saya dapat melihat wajah putihnya dari balik
kepala-kepala yang sesekali menghalagi. Hidungnya tidak terlalu bangir
tapi tampak serasi dengan pipiya yang agak tembam. Jilbabnya model
persegi panjang, bukan seperti jilbab model sekarang yang langsung jadi.
Ujung jilbabnya disampirkan ke bahu dan menutupi sebagian kemeja
kremnya, dia jadi terlihat seperti wanita di lingkungan pesantren yang
biasa berjalan dengan membekap kitab suci di dada. Nah, bibirnya itu
yang sempat membuat napas saya tertahan beberapa detik; tipis dan merah
serupa bawang yang menempel di atas cobek.
Itulah
alasan sampai saya dengan susah payah membelah sesaknya penumpang
busway meski beberapa kali terdengar umpatan kasar pun mendapati
muka-muka kesal lantaran terdorong tubuh saya.
Wanita
cantik itu bergeming. Ah, kemacetan jalan Jakarta memang sialan. Lampu
merah yang mati dan lengkingan klakson pasti membuat suara saya tidak
terdengar. Apalagi motor dan mobil pribadi ikut masuk ke jalur busway
membuat bis ini tak bisa bergerak.
Tubuh saya berusaha lebih mendekat. Sempurna! Tercium parfum yang membuat bahu saya terangkat menikmati aroma tubuhnya. Saya sempat mengingat mimpi apa semalam sampai-sampai Tuhan memberi kenikmatan serupa ini. Ah lagi-lagi bibir itu seperti mengingatkan saya pada seseorang yang meski keras otak saya mengingatnya tapi tetap gagal terungkap.
"Halo, siapa namamu?"
Saya tahu kalimat tanya itu terlalu garing untuk mukadimah perkenalan. Tapi siapa sih yang tidak gugup berhadapan dengan orang yang telah membuat dada berdegup dan aliran darah jadi enggak normal. Kata itu saya pilih begitu saja dari pada kehilangan momen.
Akhirnya kepalanya menoleh. Perlahan dan seperti takut-takut. Saya segera pasang senyum andalan.
"Dhaniiii..." teriaknya dan membuat beberapa orang melihat kami. Kemudian perut saya terasa sakit karena wanita itu mencubit dengan gemasnya. Sementara mulut saya menganga, otak saya mengingat-ingat siapa wanita yang perlahan mengingatkan saya pada seseorang.
"Kirain aku siapa kamu, Dhan, tiba-tiba langsung tanya nama. Emang gak kenal aku?"
Aku masih terpaku
"Ooo iya pasti jilbab ini ya? Hehe aku lagi tes masuk bank syariah di Thamrin. Jadi harus pakai jilbab. Kamu mau ke mana?"
Setelah melihat ada dua tahi lalat kecil di bawah mata sebelah kiri, yakinlah saya wanita itu Fera, anak paman saya yang dua minggu lalu ke Jakarta setelah lulus kuliah di perguruan tinggi Malang.
***
lhaa...knapa guaaa.....
BalasHapushalo juga :)
BalasHapushaha ente sumber inspirasi kang :D
BalasHapuseh ada suri :)
apa kabar Pak Mamar? :D
BalasHapusKabar baik Suri. smoga Suri jg ;-)
Hapus