Rabu, 28 Maret 2012

Tince Sukarti

"Tin.. Tin.. Makan nak."

Suara yang terlontar tidak lagi keras. Malah terdengar seperti bicara pada diri sendiri. Bisa jadi lantaran lebih dari sepuluh kali wanita paruh baya itu merapatkan tubuhnya ke pintu kamar anaknya, namun panggilannya tak juga berujung jawaban. Sekali lagi permukaan pintu diketuk dengan jarinya yang sudah ditekuk. Masih sama. Tak ada suara dari dalam. Ragu-ragu kaki wanita berkebaya corak bunga itu melangkah, antara kembali ke meja makan atau merapatkan lagi ke pintu kamar. Menggelengkan kepala, wanita itu akhirnya menarik napas panjang seraya melangkah ke meja makan.

"Biarkan saja. Gak usah dipanggil!" ujar Mahmud setengah membentak sambil mengetuk piring dengan sendok makan dengan kasar. Rupanya dia terganggu istrinya mondar mandir ke kamar Tince Sukarti sementara nasi di piringnya belum berkurang satu sendok pun. "Makan dulu nasimu!"

"Kasihan, Pak. Dari semalam belum makan dia."

Mahmud bergeming. Hidungnya serupa mendengus. Dia lebih memilih ambil satu lagi ayam goreng ketimbang menatap wajah istrinya yang tampak cemas.

"Lihat badannya semalam, Pak, kurus benar!"

Kali ini Mahmud tersenyum sinis. "Itu penyakit yang dia cari sendiri."

"Tince Sukarti itu darah dagingmu. Aku tahu dia salah melangkah. Tapi dia itu terjebak, tidak sepatutnya kau bersikap seperti itu."

Sayup-sayup telinga Tince menangkap percakapan orang tuanya dari dalam kamar. Tubuhnya menghadap cermin dengan tatapan kosong. Lima jam lebih dia duduk di sana meratapi nasibnya. Entahlah, mendapati reaksi ayahnya sedingin itu, ada penyesalan berada kembali di rumah setelah hampir setahun meninggalkan rumah. Sudah dua hari sejak polisi mengantarkan Tince pulang, tatapan ayahnya datar-datar saja. Tidak kangen apalagi prihatin dengan kondisi anaknya yang terjebak dalam lingkaran setan prostitusi. Malah Tince yakin, dibalik wajah datar itu, ayahnya senang dan menertawakan nasibnya.

Tince Sukarti belum lupa peristiwa setahun lalu ketika kedua orang tuanya lelap tidur dia membawa tas penuh berisi pakaian. Di pematang sawah sudah menunggu Aris yang akan membawanya ke kota. Lelaki dengan perut buncit itu berjanji membawa Tince Sukarti ke bosnya yang berprofesi sebagai pencipta lagu. "Kamu kenal Nike Ardila kan? Ya, itu bos saya yang pertama kali mengajak ke dapur rekaman. Dan Akang yakin, Neng Karti bakal lebih terkenal. Kecantikan Nike Ardila gak ada setengahnya dari Neng. Sumpah!" begitu sesumbar Kang Aris begitu Tince Sukarti meragukan ajakannya.

Sudah disepakati seluruh warga desa Suka Maju bahwa Tince Sukarti itu bergelar kembang desa. Wajah gadis itu begitu  lembut dan ikal mayang dia punya rambut. Para jejaka tak akan lupa, kerling nakal Sukarti yang menggoda. Jangankan lelaki muda, yang tua jompo pun gila begitu wanita itu lewat depan mata. Tuhan mungkin terlalu baik, biasanya wanita yang diberkahi paras cantik memiliki suara agak kasar bahkan ada yang mirip suara lelaki. Rumus ini tidak berlaku buat Tince Sukarti. Berkali-kali dia menjadi juara menyanyi mewakili sekolahnya dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas.  Dan potensi tarik suaranya ini disadari benar oleh Tince Sukarti. Makanya dia kerap bermimpi menjadi penyanyi terkenal yang selalu masuk tivi. Setidaknya itulah yang dia impikan ketika asyik menyanyi di kamar mandi dan menari di depan cermin lemari.

"Kalau tidak jadi penyanyi, rugi atuh Neng wajah seayu ini." Ramdhani ketua RW pernah berkata serupa ini kala berpapasan di pinggir kali.

"Sukarti.. oh Sukarti... Akang rela gak makan dua hari asal sini bonceng motor sambil kamu bernyanyi." ini kalimat yang tidak pernah absen kala Tince Sukarti melewati pangkalan tukang ojek di bawah tegangan tinggi.

"Ikut Akang! Sumpah mati, berani gempor kaki Akang kalau Neng gagal jadi penyanyi."  Aris si calo artis meyakini berkali-kali..

Ajakan Aris itulah yang memberanikan Tince Sukarti menghadap Mahmud pada suatu sore. Dia begitu yakin ayahnya akan mengizinkan mengingat posisinya sebagai anak tunggal yang kerap dimanja. Setelah basa basi menanyakan hasil ladang yang digarap ayahnya, sambil mengurut kaki Mahmud, Tince mengutarakan niatnya.

"Apa?" Mahmud sampai menarik kakinya yang sedang diurut saking terkejut dengan ucapan Tince Sukarti. "Tidak!!"

Sang gadis pasang wajah cemberut dan mulai menarik-narik ujung bajunya.

"Kamu itu anakku satu-satunya. Jangan pergi ke kota. Kamu belum tahu betapa keras kehidupan di sana. Lagipula usiamu masih terlalu kecil untuk merantau."

Bibir tipis Tince mulai bergetar. Bola mata hitamnya tenggelam sebagian. Dadanya pun terangkat pelan tak kuasa menahan isak.

Biasanya Mahmud luluh melihat gadinya merengek. Kali ini lain. "Sekali tidak tetap tidak!!"

Secepat kilat Tince Sukarti lari sambil menangis menuju kamarnya. Dengan kekuatan penuh pintu kamar dibanting. Dia sangat tidak menyangka akan jawaban ayahnya mengingat segala permintaan biasanya selalu diluluskan. Tidak terbesit dalam benaknya bahwa  sang ayah punya pertimbangan matang dan realistis. Mahmud tidak mau ceroboh membiarkan anak perawannya mencari untung di kota di usia belum lulus SMA. Apalagi dia sadar gadisnya itu memiliki paras yang bakal meruntuhkan iman para lelaki hidung belang. Meski Tince Sukarti berjanji akan pulang dua minggu sekali tetap ditampiknya mentah-mentah.

Di kamarnya, hati Tince seperti meledak. Sanjungan dan pujian yang selama ini diarahkan padanya seakan menguap dalam hitungan detik. Tangannya tidak kuasa menahan kesal hinggu kaca lemari ditinjunya sampai retak. Sekali lagi bogamnya menghujam setelah siluet wajah ayahnya tampak di cermin lemari. Pecahan kaca merobek kulitnya seakan tak terasa.  Beberapa serpihan jatuh menghujani telapak kakinya.

Bisa jadi sakit di hatinya teramat perih hingga di kepala Tince muncul ide untuk kabur saja. Bermodal paras cantik dan suara merdu yakinlah dia mampu meraup uang dengan mudah, mirip apa yang selalu diwanti Aris beberapa hari belakangan. "Lihat saja nanti, kalau sukses, ayah pasti merengek minta kiriman uang tiap bulan." batin Tince sambil memilih mana pakaian yang akan di bawanya esok malam.

Dan seperti yang selalu menjadi langganan berita di tivi, Tince Sukarti dijual kepada mucikari. Kembang desa itu layu sebelum berkembang. Dia tidak bisa pulang lantaran mucikari membeli tubuhnya dengan harga yang tidak murah. "Lunasi dulu hutangmu, baru nanti kuizinkan pulang!" Tentu itu hanya janji kosong supaya Tince Sukarti mau mulai menanggalkan pakaian dan melayani tamu pria hidung belang. Hari-hari kelamnya berjalan hampir satu tahun sampai polisi mengungkap jaringan para penjual manusia beberapa hari lalu.

***

"Andai menaati laranganku, dia tidak begini sengsara." gerutu Mahmud setelah meneguk air putih. Istrinya  masih belum  menyantap makanannya. "Kau lihat pandangan tetangga saat anakmu pulang, heh, mereka jijik melihat keluarga kita.

"Sudahlah jangan tambah penderitaan dia. Tince dijebak. Seharusnya kita melindunginya sekarang."

"Aku malu punya anak pelacur!"

Mendengar kata-kata barusan keluar dari suaminya, bibir wanita itu bergetar. Ingin mengeluarkan kalimat bantahan tapi tenggorokannya serupa tersumpal kain. Matanya berkaca-kaca.

"Lebih baik dia tidak ditemukan daripada mendapat kenyataan senista ini."

Kalimat itu terucap keras dan tentu saja terdengar oleh Tince Sukarti yang sedang mengikat seprai  ke kusen pintu kamar mandinya.

Kembang desa layu, tak lagi wangi seperti dulu..

***

Jakarta 30/3/12

*Cerita ini ditulis berdasarkan lagu Tince Sukarti yang dipopulerkan Iwan Fals.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar