Senin, 16 Januari 2012

Ada Dia di Matamu

Fauzan
Ini sudah keterlaluan. Sedari tadi Fauzi tidak mau menoleh padahal beberapa kali aku berdehem. Biasanya tanpa ada kode pun dia segera memberi kunci jawaban via sms. Aku tinggal menyalinnya ke lembar jawaban. Kebiasaan ini sudah berlangsung lama hingga aku tidak perlu belajar saat ada ulangan, bahkan ujian. Itulah guna sahabat. Aku pun tidak pernah menolak ketika dia mengeluh bapaknya tidak memberi uang SPP. Kendati dia bilang pinjam gak pernah aku menagihnya. Biarlah. Bagiku dia sudah seperti saudara sendiri. Malah kemarin, aku transfer pulsa dua puluh lima ribu buat nomor hape-nya yang sering sekali masuk masa tenggang.

Sial, jam dingding di atas papan tulis sudah hampir menyentuh angka sepuluh. Berarti lima belas menit lagi bel istirahat melengking sekaligus mengakhiri waktu ulangan. Sebenarnya aku ingin sekali merobek kertas dan meremasnya jadi bola kecil lantas dilemparkan ke tubuh Fauzi, tapi rasanya tidak mungkin. Bu Naimah sedari tadi seperti tidak berkedip menyorot dari setiap gerakan mencurigakan. 

Sekali lagi aku mengeluarkan dehem. Lebih keras dari yang tadi. Mustahil Fauzi tidak mengenal suaraku.  Jarak kami tidak lebih dari tiga meter, dia duduk dua bangku di depanku sebelah kanan. Aneh, kepalanya masih tidak bergerak. Pasti ada yang tidak beres. Aku jadi ingat tadi  pagi waktu bertemu wajahnya dilipat begitu aku menegurnya.

Apa karena... Ah tidak mungkin.

Fauzi
Dia pikir aku bodoh. Dasar Fauzan memang licik. Dari dulu aku hafal wataknya yang selalu ingin menang sendiri. Harusnya itu jadi peringatanku dan tidak ceroboh begitu saja memberi izin kepadanya, ketika   Fawaizzah diminta untuk menemaninya ke toko buku. Aku tidak ikut waktu itu lantaran harus membantu bapak jualan di pasar malam. Nah, seingatku dari situ keduanya jadi semakin akrab. SMS-ku jadi sering tidak dibalas Fawaizzah. Lelucon-leluconku seolah tidak lucu lagi di telinga Fawaizzah dan tawa lebarnya semakin hilang. Entah apa yang dibisiki Fauzan, tapi aku yakin dia mengumbar kekayaan orangtuanya hingga menghapus namaku dari hati Fawaizzah. Sial kau Fauzan. Aku yakin ada dia di matamu. 

Tidak, aku tidak akan menoleh meski kau berdehem seribu kali. Rasakan sendiri dari kebodohanmu.

***

Lembar jawaban Fauzan masih kosong saat bel berbunyi. Fauzi menghampirinya. Tiba-tiba meninju meja dengan kepalan tangan. Tidak keras memang, tapi mata Fauzan bisa melihat urat yang mengakat pada lengan sahabatnya itu. Fauzan jadi yakin atas kecurigaanya. Dia lekas merogoh ponsel untuk menghapus pesan dari Fawaizzah semalam.

Sebelum jempolnya menekan konfirmasi hapus pesan, sekali lagi dia baca barisan kata itu,"maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?*"

***
Jakarta 17 Januari 2012




7 komentar:

  1. huahahahahaahaha

    capcus kesiniii http://fawaizzah.wordpress.com/2012/01/17/ada-dia-di-matamu/

    BalasHapus
  2. lha...ini mata kok jadi bibir!

    BalasHapus
  3. pesan terakhirnya itu loh hahahahahaahahahahahahahahahahaahahahahaahhahahahhahhaha

    BalasHapus